Mengenai Saya

Foto saya
Gunungsitoli, Nias, Indonesia
Di sini aku akan menulis semua tentang apa yang aku lakukan, yang akau kerjakan, dan yang aku anggap baik. Tulisanku adalah Hasil Karyaku.

Minggu, 26 Oktober 2008

sebuah Permenungan

Al HAdist:
“Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya adalah sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat adalah sedekah.” (Hadis Riwayat At Tirmizi dan Abu Dzar)

SENYUMLAH...

Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana. Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu.

Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. . Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka...

Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. . Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak2ku!"

Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."

Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai2kan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.

Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini di tangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya. "Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!

Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.

Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.

Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri

CHEERS

Jumat, 10 Oktober 2008

CERITA TANAH TERKHIR

Kampung Bahake

Suatu Hari di Pedalaman Kalimantan Barat

Foto By Tony Trimarsanto

INI CERITA tentang sebuah kampung yang mungkin tidak ditemukan dalam peta atau google earth sekalipun. Kampung yang mengajari kami untuk kembali pada kesederhanaan hidup dan kedekatan dengan alam. Sebuah tanah dimana nenek moyang kami lahir dan berjuang. Tanah yang sudah menghidupi kami selama ini. Tanah yang telah kami khianati. Begitu banyak yang kami ambil dari tanah ini. Air, tanah, emas, semuanya. Lalu apa yang kami berikan untuk tanah ini? Hanya tanah tandus, bukit-bukit gundul dan air yang tercemar. Lima, sepuluh, limabelas tahun lagi mungkin tidak ada lagi yang tersisa dari tanah ini. Hanya sebuah cerita tentang Tanah Terakhir...

Pagi itu matahari belum tinggi benar. Kabut masih menyelimuti kampung dan bergumul dengan tegakan pohon di bukit. Beberapa orang mulai sibuk beraktivitas. Mandi, mencuci dan menjala ikan menjadi gambaran rutinitas pagi hari masyarakat di tepi Sungai Bahake. Suara speedboat sesekali terdengar melintas, kalah dengan deru mesin penyedot emas yang – meski dilarang penggunaannya – masih saja beroperasi menambang emas. Bau karet menyengat melengkapi suasana jalan kampung yang belum di aspal dan dipenuhi dengan jemuran padi. Anak-anak dengan seragam putih merah berangkat menuju sekolah. Wajah-wajah lugu itu nampak riang, meski harus berjalan tanpa alas kaki dan pakaian seragam putih mereka berangsur menjadi coklat muda. Anjing dan ayam yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat ikut sibuk berkeliaran, mengikuti kemana tuan mereka pergi.

Adalah Kampung Bahake yang terletak di ujung Sungai Pawan, salah satu anak Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Tidak mudah untuk mencapai kampung dengan mayoritas etnis Dayak Ntuka ini. Dari pontianak, kita harus menuju Ketapang terlebih dahulu, lalu meneruskan perjalanan dengan speed boat selama kurang lebih 8 jam. Meski cukup beresiko, Bahake dapat pula dijangkau dengan jalan darat. Tapi jangan harap ada jalan aspal, hanya jalan tanah berwarna merah yang becek dan licin jika musim hujan tiba.

Tidak jauh dari tepi jalan, terdapat sebuah kompleks kuburan adat. Bentuknya menyerupai rumah panggung berbahan dasar kayu. Makin tinggi status sosialnya, makin bagus pula bentuk kuburannya.

Pencaharian masyarakat pada umumnya adalah berladang, menoreh karet dan mencari emas. Sebelum tahun 2007, kerja kayu (menebang kayu, red) menjadi primadona penyokong perekonomian sebagian besar masyarakat Bahake. Tapi sejak razia kayu besar-besaran tahun 2007 mereka lebih memilih menoreh karet dan menambang emas karena cukong yang biasanya menadah hasil tebangan harus berurusan dengan pihak berwajib. Tidak heran kalau rakit dan tumpukan kayu di tepi sungai menjadi pemandangan biasa. Beruntung mereka masih bisa mengandalkan hasil dari tembawang¹ untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain berladang, masyarakat juga menambang emas. Baik secara tradisional dengan menggunakan dulang atau semi-mekanik dengan menggunakan mesin sedot atau kompressor. Pertambangan dengan menggunakan mesin dompeng dilarang penggunaannya karena dianggap mencemari air sungai. Pada penggunaan kompressor, emas dan pasir dipisahkan dengan menggunakan air raksa. Unsur ini membahayakan kesehatan karena dapat menyebabkan kanker. Jika terkena kulit, akibat yang langsung muncul biasanya adalah gatal-gatal dan kulit kemerahan.

Terdapat sebuah perusahaan perkayuan yang beroperasi sejak 4 (empat) tahun terakhir. Wilayah konsesinya berbatasan langsung dengan Kampung Bahake. Entah sudah berapa bukit yang dihabiskan oleh perusahaan ini. Tiap musim penghujan tiba, air limpasan permukaan dari jalan tanah perusahaan mencemari Sungai Bahake, membuat masyarakat kesulitan air bersih. Untuk kebutuhan air minum, mereka harus mengalirkan air dari bukit lewat paralon untuk mendapatkan air.

Memang, dekat dengan sumber daya alam tidak lantas membuat kehidupan masyarakat Kampung Bahake layak dari segi fasilitas umum. Justru sebaliknya. Kampung ini bahkan belum tersentuh oleh listrik, apalagi sinyal telepon. Puskesmas terdekat kampung ini ada di kota kecamatan kurang lebih 1 jam dengan speedboat. Fasilitas pendidikannya juga minim. Beruntung kampung ini punya sebuah sekolah dasar, meski hanya satu unit. Di ujung kampung berdiri sebuah sekolah dasar dengan 3 ruang kelas. Papan kayu bercat putih dengan tulisan hitam itu bertuliskan Sekolah Dasar Negeri 13 Bahake. Sekolah yang berbentuk rumah panggung ini memiliki dua ruang untuk belajar mengajar dan satu ruang lagi untuk ruang serbaguna. Satu ruang kelas dipergunakan oleh kelas 2, 3 dan 4 secara bersamaan. Sementara kelas 1, 5 dan 6 memanfaatkan ruang lainnya. Koleksi buku ajar juga seadanya. Tenaga pengajar hanya 3 orang, itupun jarang berada ditempat. Kalau sudah demikian, anak-anak lebih sering bermain sepak bola di halaman sekolah.

Sebagaimana kampung dayak pada umumnya, Bahake masih cukup kental dengan ritual adat. Ritual ini bisa dijumpai dalam tiap prosesi perladangan. Maklum, perladangan adalah urat nadi perekonomian masyarakat dayak. Dari ladang kebudayaan mereka tumbuh dan dari ladang pula mereka hidup.

¹tembawang: kebun bekas perladangan gilir-balik yang ditanami dengan pohon hutan (tanaman kayu keras) dan pohon buah-buahan. ***

Selasa, 07 Oktober 2008

Sebuah Polemik''

Polemik Sejarah Pers Indonesia


Kapan hari jadi pers Indonesia? Sebagian orang mempertanyakan kriteria "pers Indonesia," atau kalau pun mau aman, lebih tepat disebut "pers di Indonesia." Ini bisa dimulai oleh surat kabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, di kota Batavia, Pulau Jawa. Kemungkinan besar Bataviasche Nouvelles adalah suratkabar pertama yang terbit di Pulau Jawa zaman Hindia Belanda. Pulau Jawa hari ini adalah bagian dari Indonesia.

Namun banyak yang tak sependapat. Bataviasche Nouvelles kan berbahasa Belanda? Mengapa tak memulai dari surat kabar yang berbahasa Melayu? Tidakkah bahasa ini yang kelak dipakai sebagai bahasa nasionalisme Indonesia? Pada 1850-an sudah ada surat kabar berbahasa Melayu terbit di Jawa, Sumatra dan pulau lain. Pemiliknya, termasuk wartawan Tionghoa Peranakan.

Beberapa orang lagi, terutama novelis Pramoedya Ananta Toer, berpendapat "pers Indonesia" dimulai oleh Medan Prijaji, terbitan Bandung pada Januari 1907. Pramoedya menulis buku Sang Pemula guna mengedepankan peranan Tirto Adhi Soerjo, penerbit Medan Prijaji. Pramoedya juga melandaskan Tetralogi Pulau Buru, secara fiktif, pada tokoh Tirto. Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono mengangkat Tirto sebagai "pahlawan nasional."

Ada juga yang berpendapat "pers Indonesia" mulai sejak Republik Indonesia ada. Artinya, "pers Indonesia" ini ya termasuk semua yang terbit, atau sudah terbit, pada Agustus 1945, di seluruh wilayah Indonesia. Namun wilayah "Indonesia" pada 1945 de facto hanya Jawa dan Sumatra. Belanda praktis menguasai pulau-pulau lain. Bahkan sesudah perjanjian Linggarjati, wilayah Indonesia malah menciut cuma Jogyakarta dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa? Artinya, secara legal "Indonesia" baru diakui dunia internasional sesudah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949?

Saya mengumpulkan beberapa naskah terkait dengan isu ini. Isinya, banyak kritik terhadap keputusan Presiden Yudhoyono tersebut. Proyek ini diusung oleh Indexpress pimpinan Taufik Rahzen. Saya juga mempertanyakan cara mencari-cari hari jadi "pers Indonesia"?

Hari Jadi Pers Nasional Meremehkan Peran Surat Kabar Lain
Suryadi, peneliti Universiteit Leiden, berpendapat pemilihan Tirto Adhi Soerjo terkesan melebih-lebihkan peranan Tirto. Jasa Tirto tak lebih besar dari Dja Endar Moeda, misalnya, yang aktif di Sumatera, 1894-1910, atau Abdul Rivai lewat Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam, 1903-1907.

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu
Nasrul Azwar dari Minang berpendapat sejarah surat kabar Sumatra lebih tua dari Medan Prijaji. Sejak 7 Desember 1864, orang Minang untuk pertama kalinya membaca surat kabar berbahasa Melayu ketika edisi perdana Bintang Timoer diluncurkan.

Pers, Sejarah dan Rasialisme
Saya menulis soal istilah "pribumi" dan "non-pribumi" dalam melihat sejarah surat kabar di Jawa, Minahasa dan Minang. Tirto Adhi Soerjo keberatan ketika Boedi Oetomo mencalonkan Ernest Douwes Dekker sebagai editor suratkabar mereka. Alasannya, Boedi Oetomo hanya untuk orang Jawa, Sunda, Madura.

Sebuah Kegembiraan

Arti Dari Sebuah Kehidupan....

-----1 / 2-------

MERDEKA....!!!!!!!


Merdeka itu Apa Ya.....??????

Loa'')